Sebelum Setya Novanto mundur, sebenarnya sudah dipersiapkan skenario terakhir untuk menyelamatkannya. Skenario itu sudah dipersiapkan oleh anggota-anggota MKD pendukung Setya Novanto yang dibeking oleh fraksi-fraksi partai politiknya masing-masing. Skenario itu disusun melalui pertemuan-pertemuan dan lobi-lobi antar fraksi selama beberapa hari, sebelum sampai menjelang sidang MKD itu dibuka pada Rabu siang (16/12). Skenario-skenario itu sangat mungkin meliputi plan A, plan B, plan C, dan seterusnya. Jika plan A gagal, dijalankanlah plan B, jika plan B gagal, dijalankanlah plan C, dan seterusnya. Dan, apa yang kita lihat dalam drama persidangan MKD bisa saja bukan kejadian yang sebenarnya. Bisa saja yang kita lihat adalah ada dua kubu di MKD, yaitu kubu pendukung Setya, yang membelanya dengan segala cara, dan kubu yang benar-benar ingin menghukum Setya. Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah kedua kubu itu sama saja, saat sidang tertutup mereka bekerja sama mengatur strategi bagaimana menyelamatkan Setya, meskipun tidak bisa dengan membuatnya bebas tanpa kesalahan apapun, karena kesalahannya itu sudah sedemikian terang-benderang diketahui dari rekaman yang sudah diperdengarkan ke publik itu. Dari proses sidang-sidang itu sesungguhnya bisa kita melihatnya, yaitu dari perlakuan mereka terhadap Sudirman Said, Maroef Sjamsoeddin, Setya Novanto, dan Luhut Binsar Pandjaitan yang begitu mencolok perbedaannya. Sudirman dan Maroef diperlakukan seperti terdakwa, sebaliknya begitu mengistimewakan Setya. Sedangkan terhadap Luhut biasa-biasa saja. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah sobat terdekat Setya Novanto melancarkan skenario pertama, dengan mengatasnamakan Pimpinan DPR, dia melakukan pemecatan terhadap anggota MKD dari Partai Nasdem Akbar Faizal. Gampang diduga, tindakan itu dikarenakan sikap Akbar sebagai anggota MKD sudah terlihat, dia akan menyampaikan putusan akhirnya yang merugikan Setya Novanto. Dengan pemecatan itu Akbar tidak punya hak suara lagi di sidang MKD. Surat pemecatan itu disampaikan kepada Akbar Faizal hanya beberapa saat sebelum sidang MKD dimulai. Alasannya, Akbar berstatus teradu, setelah dia dilaporkan anggota MKD dari Fraksi Partai Golkar Ridwan Bae ke Pimpian DPR dan MKD, dengan tudingan telah membocorkan kepada wartawan, materi sidang MKD yang tertutup saat memeriksa Setya Novanto. Sedangkan laporan Akbar Faizal terhadap trio anggota MKD dari Golkar: Ridwan Bae, Adies Kadir, dan Kahar Muzakir, ke MKD, karena mereka menghadiri konferensi pers Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Pandjaitan, pada 11 Desember 2015, malah tidak ditanggapi sama sekali. Menurut Faisal, dalam Tata Tertib DPR, anggota MKD dilarang bertemu dengan saksi yang akan dihadirkan di persidangan MKD. Akbar Faizal yang tidak bisa menerima perlakuan Fahri Hamzah terhadapnya itu, kini telah melaporkan Fahri Hamzah ke Pimpinan DPR dan MKD, isi laporannya menyatakan Fahri telah melanggar etik karena dengan menandatangani penonaktifan Akbar dari anggota MKD sudah merupakan intervensi terhadap independensi MKD (sejak kapan, ya, MKD itu independen?). Akbar menyebutkan Fahri Hamzah dapat dikenakan sanksi etik berdasarkan Peraturan DPR Nomor 1 tahun 2015 tentang Kode Etik DPR Pasal 2, Pasal 3 ayat (4), Pasal 5 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), dan Pasal 15 ayat (1). "Anggota, pimpinan fraksi dan/atau pimpinan DPR dilarang melakukan upaya intervensi terhadap putusan MKD." Perkembangan terakhir, Ridwan Bae telah mencabut pengaduannya terhadap Akbar Faizal itu, pada 17 Desember ini. Bagaimana reaksi Akbar, belum diketahui. Apakah ia akan mencabut lagi laporannya terhadap Fahri Hamzah? Sandiwara lagi? Lelucon lagi? Sejak awal sidang MKD, publik juga sudah mengetahui bahwa trio anggota MKD dari Golkar itu (Ridwan Bae, Adies Kadir, dan Kahar Muzakir) sudah dengan terang-terangan membela dan mendukung Setya Novanto. Mereka adalah bagian dari anggota MKD yang tidak menghendaki sidang MKD itu dilaksanakan. Ketika kalah voting, sidang MKD mulai dijalankan, mereka juga yang ngotot masih mempermasalahkan legal standing Sudirman Said sebagai pengadu, dan menyatakan perekaman percakapan itu tidak sah, melanggar hukum. Padahal sebelumnya, MKD sudah memutuskan legal standing Sudirman Said adalah sah. Demikian juga perekaman percakapan itu bisa diterima untuk diperiksa. Aneh luar biasa MKD ini, meskipun sudah begitu terang-benderang anggotanya berpihak kepada teradu, tetapi tetap diizinkan memeriksa teradu. Padahal di dalam Peraturan DPR 2015 disebutkan anggota MKD itu harus obyektif dan independen dalam melakukan pemeriksaannya terhadap teradu. Menjelang sidang putusan MKD pada Rabu itu, semakin intens lobi-lobi yang dilakukan antarfraksi, yang paling bersemangat tentu saja Fraksi Golkar beserta trio anggota MKD-nya itu, lalu dari Gerindra ada Supratman Andi Agtas dan Sufmi Dasco Ahmad, dari PPP Achmad Dimyati. Koran Kompas (Kamis, 17/12/2015) menyebutkan, saking sibuknya melakukan rapat konsolidasi itu, sampai-sampai uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK di Komisi III ditinggal (dikorbankan). Terbukti, saat Komisi III menguji kelayakan dan kepatutan Agus Rahardjo, salah seorang capim KPK, Rabu siang, tak ada satu pun anggota Fraksi Partai Golkar yang hadir. Sidang MKD yang seharusnya dibuka pukul 13.00 juga tertunda karena empat anggota dari Golkar, Gerindra, PPP, PKB tidak hadir. Mereka adalah Ridwan Bae, Sufni Dasco Ahmad, A. Dimyati Natakusuma, dan Acep Adang Ruhiat. Mereka tidak hadir karena masih sibuk terlibat lobi-lobi antarfraksi masih alot. Lobi terkait apakah sidang akan terbuka atau tertutup dan apa bentuk pelanggaran serta sanksi yang akan dijatuhkan kepada Setya Novanto. Perilaku para politisi ini dengan jelas membenarkan persepsi bahwa para politikus itu jauh lebih mementingkan kepentingan partainya ketimbang kepentingan publik , bangsa dan negara. Sebelumnya, lobi-lobi antarfraksi sudah berkali-kali dilakukan oleh masing-masing kubu, yakni kubu yang bertekad melengserkan Setya dan kubu yang masih ingin mempertahankan Setya. Kubu yang disebut terakhir ini terus mencari strategi paling jitu untuk bisa menyelamatkan Setya, setidak-tidaknya mengulur-ulur waktu agar putusan terhadap Setya Novanto tidak bisa diumumkan pada hari Rabu itu. Hasilnya, mereka sepakat untuk pura-pura menyatakan Setya terbukti melakukan pelanggara etik berat. Kenapa menyatakan Setya Novanto terbukti melakukan pelanggaran berat justru akan menyelamatkan dia? Itulah aneh bin lucunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) itu. Maklum yang membuatnya adalah badut-badut politik. Seharusnya, anggota DPR dan MKD itu bukan dipanggil dengan sebutan “anggota Dewan yang terhormat”, dan “Yang Mulia”, tetapi lebih tepat jika disebut “anggota Dewan terlucu/terkonyol”, dan “Yang Lucu/Konyol”. Menurut UUD MD3 itu jika teradu terbukti melakukan pelanggaran sedang, maka yang bersangkutan langsung dijatuhi sanksi berupa pemindahan keanggotaan pada alat kelengkapan DPR atau pemberhentian dari jabatan pimpinan DPR atau pimpinan alat kelengkapan DPR. Dalam kasus Setya, ia secara otomatis dicopot dari jabatannya sebagai Ketua DPR. Jika teradu terbukti melakukan pelanggaran etik berat, sanksinya adalah pemberhentian sementara paling singkat tiga bulan, atau pemberhentian tetap sebagai anggota DPR. Tetapi, justru ini yang aneh! Logika jungkir balik ala anggota Dewan pun dipakai. Sanksi tersebut tidak bisa langsung berlaku, tetapi harus dilanjutkan dengan pembentukan panel ad-hoc lagi. Untuk membentuk tim panel ad-hoc ini saja pasti memerlukan proses waktu yang relatif panjang, karena selain terdiri dari anggota DPR, juga terdiri dari anggota masyarakat yang diseleksi dengan kriteria tertentu. Setelah tim panel ini terbentuk, mereka akan mengadakan sidang-sidang untuk menindaklanjuti keputusan MKD tersebut. Hasil panel itu akan dibawa ke rapat paripurna untuk memperoleh putusan akhir. Jika dalam pengusutannya tim panel menyatakan pelanggaran berat itu terbukti, maka teradu diberhentikan dari keanggotaannya di DPR. Namun, jika tak terbukti, namanya dipulihkan. Dapat diduga ke arah mana skenario itu tertuju, kalau bukan demi misi pembebasan Setya Novanto, apa lagi? Jelas sekali ini merupakan suatu strategi buying time, skenario “jebakan batman”, yang lagi-lagi berniat menipu dan melecehkan rakyat. Lebih mengutamakan keselamatan kolega, “sinterklas”-nya ketimbang menjaga nama baik lembaga DPR itu sendiri. Skenario itupun dijalankan di sidang MKD itu, maka 7 anggota MKD kubu Setya Novanto, yang terdiri dari Achmad Dimyati (PPP), Ridwan Bae, Adies Kadir, dan Kahar Muzakir (ketiganya dari Golkar), Supratman Andi Agtas dan Sufmi Dasco Ahmad (keduanya dari Gerindra), ditambah Muhammad Prakoso (PDIP) pun menyatakan teradu (Setya Novanto) terbukti melakukan pelanggaran etik berat. Keputusan 7 orang ini janggal, karena bukankah mereka yang selama persidangan selalu membela Setya, dan malah menyerang Sudirman Said dan Maroef Sjamsoeddin. Merekalah yang mengatakan, misalnya, kepada Maroef Sjamsoeddin bahwa perekaman yang dialakukan itu ilegal, dia bisa dipenjara, bahwa karena ilegal rekaman itu tidak bisa dijadikan barang bukti, dan seterusnya, kok di ujung sidang, tiba-tiba keputusannya Setya terbukti bersalah melakukan pelanggaran etik berat? Meskipun demikian, skenario itu gagal, dikarenakan ternyata mereka kalah suara, dari seluruh 17 anggota MKD, hanya 7 (mereka) yang menyatakan Setya Novanto terbukti melakukan pelanggaran berat, sedangkan 10 lainnya menyatakan Setya terbukti melakukan pelanggaran sedang. Melihat gelagat skenario itu gagal itulah, maka seusai sidang, sebelum pembacaan putusan, Dimyati berinisiatif menuju ruang kerja Setya Novanto di Gedung Nusantara III. Ketika keluar dari sana, dan ditanya wartawan, dia mejawab, “Saya mau minta maaf ke Pak Novanto, tapi orangnya tidak ada di ruangan.” Bayangkan betapa lucunya anggota MKD ini, ia merendahkan dirinya sendiri untuk menghampiri si teradu untuk meminta maaf, maaf untuk apa? Maaf karena skenarionya gagal? Atau ada maksud lain? Saya duga ada maksud lain itulah yang benar. Dimyati akhirnya bertemu dengan Setya pada malam harinya, kemungkinan besar, saat itulah mereka berdiskusi apa yang sebaiknya dilakukan Setya, setelah melihat situasi akhir di MKD itu. Maka diputuskanlah sebelum MKD yang mencopotnya dari jabatannya sebagai Ketua DPR, Setya-lah yang lebih dulu menulis surat dengan pernyataan pengunduran dirinya itu. Diembel-embel dengan “demi kepentingan bangsa dan negara”, seolah-olah masih ada yang mau percaya. Setelah surat itu ditandatangani Setya di atas meterai Rp. 6.000, surat itu dibawa Dimyati ke ruang sidang MKD – jadi, bisa juga dikatakan anggota MKD ini rela juga menjadikan dirinya kurirnya Setya Novanto -- untuk dibacakan sebagaimana kemudian kita ketahui bersama. Tentu saja sowan Dimyati ke Setya dengan misi pelaksanaan skenario Setya yang mundur itu, bukan semata-mata atas inisiatif Dimyati sendiri, tetapi adalah inisiatif bersama teman-teman sekubunya di MKD. Demikianlah yang terpublikasi ke publik adalah Setya Novanto menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPR. Semua pihak pun merasa gembira. Tetapi, jangan terlalu cepat bergembira, karena ingat, mundurnya Setya dari jabatannya sebagai ketua DPR itu, bukan berarti dia juga mundur, atau tidak menjadi anggota DPR lagi. Kini, Setya hanya tidak lagi menjadi Ketua DPR, tetapi dia tetap masih sebagai anggota DPR dengan segala haknya. Ingat pula, dengan alasan Setya sudah mundur, maka MKD menghentikan sidangnya tanpa ada satu pun putusan kepastian apakah sanksi yang dijatuhkan kepada Setya. Seharusnya, meksipun Setya sudah menyatakan mundur, MKD tetap melanjutkan sidangnya untuk menjatuhkan sanksi apa kepadanya. Agar status hukumnya menjadi pasti. Inilah bentuk kelucuan konyol MKD lagi, atau bisa jadi ini memang disengaja, bagian dari skenario. Bayangkan saja, semua dari 17 anggota MKD itu sudah menyatakan Setya Novanto bersalah melakukan pelanggaran sedang dan berat. Tetapi MKD sendiri malah tidak membuat putusan apapun kepada teradu Setya Novanto. Dengan tidak adanya putusan MKD itu, status Setya itu mengambang, maka tidak ada dasar hukum untuk melarang Setya jika kelak dia mencalonkan diri lagi menjadi Ketua DPR, atau ketua alat kelengkapan DPR lainnya. MKD tidak boleh menghentikan proses pengaduan itu di tengah jalan tanpa ada putusan. Pasal 127 UU MD3 2014 berbunyi: Pengaduan pelanggaran terhadap anggota DPR tidak dapat diproses apabila teradu: 1. meninggal dunia; 2. telah mengundurkan diri; atau 3. telah ditarik keanggotaannya oleh partai politik. Yang disebut Pasal itu adalah proses tidak dapat dilanjutkanMKD jika anggota DPR meninggal dunia, telah mengundurkan diri, dan telah ditarik keanggotaannya oleh partai politik. Sedangkan yang terjadi pada kasus Setya ini adalah dia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua DPR, statusnya sebagai anggota DPR tetap ada. Maka itu, bisa saja terjadi, setelah kehebohan ini mereda atau berakhir, Setya akan diberi jabatan lain di DPR, menjadi ketua dari salah satu alat kelengkapan DPR. Misalnya, menjadi ketua Badan Anggaran, atau ketua salah satu Komisi DPR, atau bahkan menjadi ketua MKD. Kemungkinan ini, juga diutarakan oleh Dimyati, saat diwawancara Metro TV, Rabu kemarin. Lucu-lucu, dan banyol-banyolan, bukan anggota-anggota DPR kita ini? Semoga proses hukumnya di Kejaksaan Agung, tidak ikut-ikutan melucu seperti ini!
Selengkapnya : http://m.kompasiana.com/danielht/skenario-terselubung-di-balik-mundurnya-setya-novanto_5672bf83ba22bd760ee80ae7
Related Posts: